Pesta Perkawinan dalam syariat dan Tradisi Aceh

 

KBRN,Lhokseumawe : Pesta perkawinan (walimatul ‘ursy) merupakan sebuah upacara syariat yang dibalut dengan nilai-nilai tradisi (local wisdom) masyarakat tertentu. Artinya, secara teologis pesta perkawinan merupakan anjuran agama sebagai bentuk syukur atas nikmat pernikahan. Tapi, disisi lain pesta perkawinan selalu digelar dengan memuat nilai-nilai adat-istiadat, tradisi, dan budaya setempat. Sebab itu, secara sosio-kultural-religius pesta perkawinan menjadi upacara syariat sekaligus upacara adat dalam kehidupan sosial masyarakat yang keberadaannya patut dijaga, dirawat, dan dilestarikan secara kolektif. Jika tidak, pesta perkawinan akan bias syariat atau bias budaya, sehingga dapat mengikis nilai-nilai peradaban (tamaddun) yang tinggi dalam kehidupan masyarakat. 

Ini urgen menjadi bahan reflektif konstruktif kepada semua pihak, disebabkan kini munculnya berbagai fenomena destruktif dan amoral dalam prosesi perkawinan, baik saat proses melihat calon isteri (nazhar, cah ra’ueh), meminang (khitbah, ba tanda), maupun dalam prosesi pesta berlangsung (walimatul ‘ursy). Fenomena destruktif dan amoral itu semisal, hadirnya calon suami (calon linto) saat prosesi nazhar atau khitbah, maraknya foto prewedding calon isteri dan calon suami sebelum sah (ijab-qabul), juru rias pengantin yang berbeda jenis kelamin atau transgender, penampilan tarian oleh para penari perempuan yang sudah baligh, maraknya lagu-lagu hiburan atau goyang yang bernuansa sensual dan tidak pantas, maupun pertanyaan-pertanyaan master of ceremony (MC) yang sensual kepada mempelai dihadapan khalayak. 

Menyatu 

Dalam konteks keacehan, syariat dan adat-istiadat menyatu dan tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang saling bertautan. Ini diekspresikan dalam sebuah ungkapan bijak (hadih maja, nariet maja) sebagai petuah indatu pada masa lalu: “hukom ngen adat lage zat ngen sifeut, tawiet han meulipat, tatarek han meujeuet”, bermakna hukum (syariat) dan adat laksana zat dan sifat, tidak terpisahkan dan tidak lentur. Artinya, adat-istiadat yang berkembang dalam kehidupan orang Aceh mesti sesuai dengan nilai-nilai agama. Pun, jika ada adat-istiadat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai syariat, maka mesti direkonstruksi ulang dengan memuat nilai-nilai syariat sebagai basis nilai dalam tradisi Aceh. Ini menunjukkan bahwa, dalam praktiknya tradisi yang berkembang di Aceh selalu didiskusikan dengan nilai-nilai teologis-religius. 

Maka, pesta perkawinan sebagai upacara adat mesti sesuai dengan nilai-nilai syariat yang berkembang, agar tidak munculnya praktik pesta perkawinan yang menyimpang dan bias syariat dalam kehidupan orang Aceh masa kini. Bahkan, dalam perspektif orang Aceh menyatakan, bahwa adat-istiadat lebih luwes, lentur, dan elastis (murunah) dalam praktiknya dibandingkan dengan syariat. Ini dapat dipahami dari ungkapan: “Adat meukoh reubong, hukom meukoh purieh, adat jeut beurangkaho takong, hukom hanjeut beurangkaho takieh”, bermakna adat bagai terpotong rebung, hukum bagai terpotong purih, adat lebih lentur, hukum tidak boleh sembarangan diqiaskan. Sebab itu, praktik prosesi perkawinan di Aceh tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai syariat yang berlaku.

Tahapan perkawinan 

Dalam perspektif syariat dan tradisi Aceh, perkawinan digelar melalui beberapa tahapan, yaitu: Pertama, dianjurkan melakukan nazhar, yang bermakna melihat dengan teliti calon isteri sebelum meminang dalam batas-batas tertentu yang dibolehkan dalam syariat, semisal muka dan telapak tangan. Prosesi ini salah satu daripada praktik yang dianjurkan dalam syariat. Profetik mengungkapkan, bahwa hikmah prosesi nazhar dapat melanggengkan dan mengharmonisasi pasangan suami dan isteri setelah menikah. Ini disebabkan karena perkawinan dibangun atas dasar kesepahaman dan pengetahuan kolektif sesama pasangan. Prosesi nazhar ini dalam tradisi Aceh dikenal dengan istilah “cah ra’ueh”, yang bertujuan untuk melihat calon dara baro yang akan dipinang oleh calon linto bersama keluarga atau wali. 

Kedua, dianjurkan melakukan khitbah, yaitu permohonan seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan tertentu. Prosesi khitbah ini juga merupakan aturan dalam syariat yang telah ditetapkan oleh profetik. Bahkan, profetik menegaskan bahwa tidak boleh seseorang meminang perempuan yang berada dalam pinangan orang lain. Dalam tradisi Aceh, prosesi ini disebut dengan istilah “ba tanda” atau seumpamanya, yang dilakukan oleh “seulangke”, yaitu utusan daripada pihak calon suami atau linto. Dalam praktiknya, orang yang menjadi “seulangke” adalah tokoh masyarakat terpercaya, semisal geuchik, teungku imum, tuha peut, tuha lapan, dan tokoh serta perangkat desa lainnya, yang hadir mereka itu bersama keluarga, tanpa kehadiran calon linto. Kini, keberadaan Majelis Adat Aceh (MAA) di Desa setempat dapat dijadikan representasi “seulangke” dalam prosesi “ba tanda”. 

Tapi, realitas sosial terkadang praktik prosesi khitbah dalam kebiasaan orang Aceh saat ini hadirnya calon linto di dalamnya. Praktik ini bertentangan dengan syariat dan adat Aceh. Sebab, status perempuan dalam pinangan itu belum sah (ajnabiyah). Kehadiran calon linto didalam prosesi khitbah dapat mencoreng nilai-nilai syariat dan pengikisan terhadap nilai-nilai tradisi keacehan yang religius. Maka, diperlukan perhatian serius semua elemen, baik kedua mempelai, keluarga, tokoh masyarakat, maupun pemerintah terkait agar mencegah praktik khitbah yang bias syariat dan budaya. 

Ketiga, prosesi pernikahan, yaitu suatu akad (ijab-qabul) dari pihak perempuan kepada calon mempelai laki-laki sesuai dengan ketentuan syariat. Rukun nikah menjadi syarat utama sahnya sebuah pernikahan. Keempat, dianjurkan adanya pesta perkawinan (walimatul ursy), yaitu prosesi perjamuan kepada khalayak untuk mensyukuri nikmat pernikahan. Dalam syariat, pesta perkawinan salah satu daripada anjuran profetik. Ia memberikan pesan agar mensyukuri nikmat pernikahan dengan menggelar pesta perkawinan meskipun hanya menyembelih seekor kambing. Artinya, pesta perkawinan merupakan sebuah pekerjaan yang dianjurkan (sunat) dalam agama, yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala. 

Ironisnya, realitas sosial menunjukkan terkadang pesta perkawinan tidak mematuhi aturan syariat dalam pelaksanaannya. Akibatnya, pesta perkawinan yang semula dianggap ibadah berubah menjadi praktik kemungkaran, semisal juru rias pengantin yang berbeda jenis kelamin atau transgender, penampilan tarian oleh para penari perempuan yang sudah baligh, maraknya lagu-lagu hiburan atau goyang yang bernuansa sensual dan tidak pantas, maupun pertanyaan-pertanyaan pemandu acara (MC) yang sensual kepada mempelai dihadapan khalayak. Maka, praktik ini bertentangan dengan nilai-nilai syariat dan adat Aceh. Pemandu acara mesti mendapatkan pembinaan nilai-nilai syariat dan adat secara serius, agar dapat mengelola dan mengatur prosesi pesta perkawinan yang sesuai dengan syariat dan adat Aceh. 

Sebab itu, pemerintah gampong di Aceh diharapkan dapat menyusun dan menetapkan “reusam gampong” sebagai panduan dan peraturan dalam pergelaran pesta perkawinan. “Reusam gampong” dapat menjadi langkah strategis dalam penegakan praktik pesta perkawinan yang sesuai dengan syariat dan adat Aceh. Jika tidak, praktik pesta perkawinan di Aceh ke depan akan terus berakulturasi dengan budaya luar yang bertentangan dengan nilai syariat dan tradisi Aceh. Semoga!

(Penulis: Adnan, Dosen UIN Sultanah Nahrasiyah dan Pengurus MAA Kota Lhokseumawe. Email: adnanyahya@uinsuna.ac.id).

Sumber : rri.co.id